Webinar Nasional Early Warning, Early Action, Sesi Tanggapan Panelis – Diskusi – Perumusan Rekomendasi

Diskusi panel dalam webinar “Early Warning, Early Action: Kilas Balik Bencana Hidrometeorologi sebagai Basis Rekomendasi Aksi Mendatang” yang diselenggarakan Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, menjadi ruang refleksi kritis atas tantangan pengelolaan risiko bencana di Indonesia. Para panelis menekankan bahwa meningkatnya kejadian ekstrem akibat perubahan iklim menuntut pergeseran paradigma dari sekadar respons bencana menuju aksi antisipatif yang sistematis dan berkelanjutan.

Tanggapan panelis diawali oleh Dr. Raymond Valiant, Regional Coordinator Global Water Partnership Southeast Asia, yang mengulas persoalan bencana dari perspektif regional Asia Tenggara. Ia menyoroti bahwa banjir dan badai dengan intensitas tinggi semakin sering terjadi, tercermin dari tujuh siklon tropis dalam satu dekade terakhir yang telah menimbulkan korban jiwa. Menurutnya, siklon tropis harus dipandang sebagai alarm serius perubahan iklim, sehingga pembahasan ketahanan bencana tidak lagi berhenti pada tataran normatif, melainkan harus menyentuh tatanan iklim yang terus berubah.

Dalam konteks penanganan bencana, Dr. Raymond menekankan ketimpangan antara mitigasi dan adaptasi. Ia menilai bahwa pendanaan global masih cenderung berpihak pada mitigasi karena lebih mudah menarik investor, sementara adaptasi justru lebih sulit memperoleh pembiayaan. Padahal, adaptasi perlu didorong terlebih dahulu sebelum mitigasi agar masyarakat benar-benar mampu bertahan. Ia juga menyoroti pentingnya disaster risk reduction, akses pendanaan cepat yang tidak membebani fiskal negara, intervensi teknokratik yang tepat, serta pergeseran dari respons tanggap darurat menuju aksi antisipatif. Perubahan iklim, menurutnya, memperbesar risiko fiskal akibat pembiayaan pascabencana, sehingga diperlukan pembiayaan risiko bencana yang dirancang secara ex-ante.

Lebih lanjut, Dr. Raymond menekankan pentingnya nature-based solutions, termasuk perencanaan rekonstruksi yang mempertimbangkan perubahan morfologi dan aliran sungai. Restorasi ekosistem pantai melalui mangrove dan terumbu karang, serta perlindungan lahan basah sebagai penyerap alami, dinilai mampu menurunkan risiko banjir di wilayah hilir. Ia juga mendorong integrasi konsep green building sebagai kriteria perencanaan, baik untuk bangunan baru maupun retrofit bangunan eksisting, agar lebih adaptif terhadap probabilitas kejadian ekstrem. Menurutnya, kemampuan manusia untuk bertahan selalu bertumpu pada adaptasi.

Perspektif berbasis komunitas disampaikan oleh I Gusti Rai Ari Temaja, penggagas Komunitas Peduli Sungai Tukad Bindu. Ia mempertanyakan sejauh mana pengawasan pemerintah dilakukan secara utuh, jujur, dan bertanggung jawab. Menurutnya, regulasi sebenarnya sudah cukup banyak, namun persoalan utama terletak pada siapa yang mengimplementasikan dan bagaimana pengawasan dilakukan. Ia menekankan perlunya strategi yang mampu menggerakkan masyarakat, dari sekadar mau menjadi benar-benar sadar, melalui kolaborasi lintas lembaga dan kementerian yang lebih nyata. Kunci lainnya adalah kehadiran figur penggerak yang dipercaya masyarakat serta penguatan nilai dalam setiap regulasi agar mampu mengubah perilaku secara berkelanjutan.

Sesi diskusi memperkaya pandangan panel dengan tanggapan dari pemangku kepentingan dan akademisi. Dr. Dwi Purwantoro dari Kementerian Pekerjaan Umum menegaskan kembali bahwa penanganan bencana harus dimulai dari wilayah hulu. Ia juga menekankan pentingnya percepatan dan penguatan early warning system, karena keterlambatan informasi kepada masyarakat hampir selalu berujung pada meningkatnya jumlah korban.

Dari sisi akademik, Dr. Vempi Satriya Adi Hendrawan, dosen DTSL FT UGM, mengangkat isu strategi adaptasi pada bangunan sungai eksisting. Ia menyoroti bahwa banyak infrastruktur sungai perkotaan dirancang dengan asumsi debit tahunan tertentu yang kini kerap terlampaui. Penataan berbasis peta bahaya yang mempertimbangkan floodplain dalam satu daerah aliran sungai dengan berbagai kala ulang dinilai akan memberikan hasil yang signifikan. Ia juga menekankan perlunya pendekatan ilmiah untuk mengakomodasi perubahan hujan ekstrem akibat perubahan iklim dalam perhitungan perencanaan infrastruktur sumber daya air.

Pandangan mengenai dampak sosial ekonomi pascabencana disampaikan oleh Benazir. Ia menyoroti kejadian di Aceh yang berdampak luas dari hulu hingga hilir, dengan kebutuhan jangka pendek berupa logistik dan tantangan jangka panjang berupa pemulihan mata pencaharian, terutama di sektor pertanian akibat rusaknya jaringan irigasi. Ia mengingatkan bahwa perubahan mata pencaharian pascabencana sering kali tidak berkelanjutan tanpa dukungan modal dan pendampingan, sehingga pemulihan sistem peringatan dini dan infrastruktur kunci perlu difokuskan pada titik-titik strategis.

Menutup diskusi, Dr. Raymond kembali menekankan pentingnya menjembatani early warning menjadi early action. Ia menyampaikan bahwa sistem peringatan dini merupakan bentuk investasi adaptasi terhadap perubahan iklim, namun porsi pendanaannya secara global masih relatif kecil. Penyediaan dana secara ex-ante melalui market-based instruments maupun public bonds dinilai krusial agar peringatan dini dapat benar-benar ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan yang bertanggung jawab.

Rangkaian diskusi ini kemudian dirangkum dalam sejumlah rekomendasi strategis yang mengacu pada kerangka kerja pengelolaan risiko bencana. Rekomendasi forum menegaskan perlunya pengelolaan risiko bencana hidrometeorologi yang terintegrasi sejak tahap perencanaan pembangunan. Setiap kegiatan pembangunan perlu memasukkan risiko bencana sebagai pertimbangan utama, dengan menempatkan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan sebagai fondasi kebijakan. Penguatan kapasitas kelembagaan dinilai penting dari tingkat nasional hingga rumah tangga, agar pengurangan risiko tidak berhenti pada tataran kebijakan, tetapi terimplementasi di tingkat tapak. Dalam jangka pendek, peserta sepakat bahwa early recovery harus diprioritaskan, khususnya pemulihan mata pencaharian masyarakat, sebagai dasar keberlanjutan penghidupan pascabencana. Upaya ini memerlukan sinergi lintas sektor dan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, komunitas, akademisi, dan jejaring profesional.

Aspek teknis pengelolaan risiko menitikberatkan pada penguatan early warning system dan peningkatan pemahaman kebencanaan masyarakat. Selain faktor hujan ekstrem, kondisi daerah aliran sungai eksisting dan dinamika perubahan tata guna lahan perlu diantisipasi secara lebih ketat dalam perencanaan dan perizinan. Penerapan kebijakan Zero ΔQ dinilai masih sangat terbatas dan lebih banyak berfokus pada pembangunan drainase perkotaan, sementara pendekatan berbasis retensi dan infiltrasi seperti sponge city belum banyak diterapkan. Keterbatasan kualitas data serta tingginya ketidakpastian akibat perubahan iklim menuntut penguatan riset, pemanfaatan peta bahaya secara cermat, dan penyusunan skenario aksi jangka pendek, menengah, dan panjang yang realistis dan adaptif.

Di luar aspek teknis, forum menekankan bahwa pengelolaan bencana tidak dapat dilepaskan dari dimensi sosial dan kebijakan. Penyampaian informasi kebencanaan perlu dilakukan secara cepat, akurat, dan bertanggung jawab agar tidak menimbulkan kepanikan, sekaligus memastikan masyarakat mampu merespons secara tepat. Pengembangan sistem peringatan dini yang lebih ramah masyarakat harus disertai edukasi yang tepat sasaran, pembaruan informasi secara berkala, dan sosialisasi yang dilakukan secara rutin, mengingat adanya dinamika dan regenerasi masyarakat. Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif tersebut, konsep early warning dan early action diharapkan dapat benar-benar diterjemahkan menjadi praktik nyata dalam menurunkan risiko dan dampak bencana hidrometeorologi.

Rekaman webinar dapat diakses oleh publik melalui kanal resmi Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada pada tautan berikut http://ugm.id/YTEarlyWarningEarlyAction. Selain itu, materi paparan yang disampaikan oleh para narasumber juga dapat diakses pada link http://ugm.id/MateriWebinarEarlyWarningEarlyAction untuk memperluas pemahaman dan mendorong pemanfaatan hasil diskusi sebagai referensi dalam pengembangan kebijakan dan praktik pengurangan risiko bencana hidrometeorologi ke depan. (Sumber: humas DTSL)

© DTSL - UNIVERSITAS GADJAH MADA

Jumlah Pendownload 4