Kerangka Ilmiah Bencana Hidrometeorologis, Tren Risiko ke Depan, serta Rekomendasi Kebijakan Berbasis Data dan Skenario (Sesi Speaker Webinar Nasional Early Warning, Early Action)
Berita DTSBerita MSTTBerita MTPBABerita MTSBerita TILBerita TSBerita TSDAFoto DTSLRilis Berita Sabtu, 27 Desember 2025
Kerangka Ilmiah Bencana Hidrometeorologis, Tren Risiko ke Depan, serta Rekomendasi Kebijakan Berbasis Data dan Skenario (Sesi Speaker Webinar Nasional Early Warning, Early Action)
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada kembali menggelar webinar bertajuk Early Warning, Early Action: Kilas Balik Bencana Hidrometeorologi sebagai Basis Rekomendasi Aksi Mendatang. Pada sesi pembicara kedua, Dr. Vempi Satriya Adi Hendrawan, S.T., M.Env., Ph.D., akademisi bidang hidroinformatika DTSL FT UGM, memaparkan kerangka ilmiah bencana hidrometeorologis, tren risiko ke depan, serta rekomendasi kebijakan berbasis data dan skenario.
Dalam paparannya, Dr. Vempi menjelaskan bahwa bencana hidrometeorologis mencakup bencana meteorologis dan hidroklimatologis. Bencana meteorologis dipicu oleh perubahan atmosfer dan cuaca ekstrem, seperti curah hujan tinggi, angin kencang, temperatur ekstrem, dan kekeringan, yang dapat memicu banjir, tanah longsor, badai, dan dampak turunan lainnya. Fenomena ini semakin diperparah oleh perubahan iklim global serta aktivitas manusia, terutama perubahan tata guna lahan dan tekanan pembangunan.
Ia menambahkan bahwa pada bencana hidroklimatologis terdapat kecenderungan bias antara pelaporan yang semakin baik dengan kejadian yang memang semakin meningkat. Berdasarkan data sejak 2004, banjir di Sumatra tercatat sebagai satu-satunya bencana meteorologis yang konsisten masuk dalam enam besar bencana dengan korban terbanyak. Jenis bencana hidroklimatologis utama yang kerap terjadi di Indonesia meliputi banjir bandang dan tanah longsor. Secara global, Indonesia juga tercatat masuk dalam 33 negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia.
Dr. Vempi kemudian menjelaskan kerangka pengurangan risiko bencana yang umum digunakan, yakni Risk = Hazard × Exposure × Vulnerability. Kerangka ini sejalan dengan Sendai Framework 2015–2030 yang menekankan pencegahan terbentuknya risiko baru serta pengurangan risiko bencana yang telah ada, dengan tujuan utama menurunkan kerugian, khususnya pada aspek jiwa, aset ekonomi, fisik, sosial, budaya, dan lingkungan.
Terkait tren masa depan, ia menyoroti dampak perubahan iklim terhadap pola curah hujan di Indonesia. Data menunjukkan bahwa durasi kekeringan cenderung semakin panjang di wilayah selatan dan timur Indonesia. Di saat yang sama, hampir sebagian besar wilayah diproyeksikan mengalami peningkatan kejadian hujan ekstrem yang lebih parah, sementara sebagian wilayah timur justru mengalami penurunan curah hujan tahunan. Untuk Pulau Jawa, proyeksi periode 2060–2100 menunjukkan peningkatan curah hujan di wilayah pegunungan, namun penurunan di wilayah dataran rendah.
Menurut Dr. Vempi, kondisi tersebut menuntut adanya peta bahaya yang disebarluaskan secara luas kepada masyarakat agar kesiapsiagaan dapat ditingkatkan, sebagaimana praktik yang telah lama diterapkan di Jepang. Ia mencontohkan kejadian banjir dan longsor di Sumatra pada November 2025, di mana data yang tersedia masih terbatas untuk diakses publik. Pada salah satu daerah aliran sungai, tercatat curah hujan mencapai 1.190 mm dalam satu bulan, jauh melampaui rerata historis bulan yang sama sebesar 435 mm.
Sebagai rekomendasi, Dr. Vempi menekankan pentingnya menjadikan peta risiko banjir yang mengintegrasikan aspek hazard, exposure, dan vulnerability sebagai dokumen wajib dalam perencanaan infrastruktur. Selain itu, diperlukan mekanisme pengendalian pembangunan dan penataan floodplain, penguatan kembali pendekatan berbasis daerah aliran sungai, serta manajemen data yang terintegrasi dengan pemodelan dan proses pengambilan keputusan. Ia juga mendorong pemanfaatan data berakuisisi cepat, seperti satelit, pemodelan banjir dua dimensi dengan skenario kejadian ekstrem, perubahan iklim, dan perubahan tata guna lahan. Ke depan, keputusan infrastruktur dinilai perlu semakin berbasis skenario, baik dengan maupun tanpa intervensi infrastruktur atau penataan floodplain.
Rekaman webinar dapat diakses oleh publik melalui kanal resmi Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada pada tautan berikut http://ugm.id/YTEarlyWarningEarlyAction. Selain itu, materi paparan yang disampaikan oleh para narasumber juga dapat diakses pada link http://ugm.id/MateriWebinarEarlyWarningEarlyAction untuk memperluas pemahaman dan mendorong pemanfaatan hasil diskusi sebagai referensi dalam pengembangan kebijakan dan praktik pengurangan risiko bencana hidrometeorologi ke depan. (Sumber: humas DTSL)







