Bencana kabut asap akibat kebakaran lahan gambut yang terjadi pada tahun 2015 merupakan bencana kabut asap terbesar setelag kebakaran tahun 1997. Salah satu areal yang paling banyak terbakar adalah eks Proyek Pembukaan Lahan Gambut (PLG) Sejuta hektar di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Noor, 2010)
Kebakaran ini dapat menyebar, terkonsentrasi di bawah permukaan bergerak secara perlahan dan sulit dideteksi. Kebakaran hutan dan lahan gambut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi iklim, kondisi fisik hutandan lahan yang telah terdegrasi dan kondisi ekonomi, sosial dan budaya.
Hal tersebut disampaikan oleh mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil FT UGM, Novitasari, dalam ujian terbuka Senin (27/1) bertempat di Ruang Sidang Biru Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan FT UGM. Novitasari mempertahankan disertasinya tentang Pengembagan Metode Indeks Kekeringan untuk Identifikasi Resiko Kebakaran Lahan Gambut.
“Indeks kekeringan yang dikembangkan pada penelitian ini adalah indeks kekeringan KBDI (Keetch and Bryan Drought Index). Modifikasi dilakukan pada faktor kekeringan (DF1) dengan modifikasi hujan tahunan (R0 ), suhu harian maksimum (Tm) dan evapotranspirasi potensial pada iklim tropis”, tutur Novitasari.
Novitasari menjelaskan bahwa modifikasi juga dilakukan pada muka air tanah, kerapatan vegetasi dan kematangan gambut. Rumus indeks kekeringan yang dikembangkan diuji terhadap data NFA (number of fire alerts). Modifikasi indeks kekeringan ini diwakili dengan kelas indeks dari rendah sampai sangat tinggi (ekstrem).
Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah sistem peringatan dini yang bisa diterapkan pada pengelolaan lahan gambut, karena kebakaran lahan gambut di Indonesia 99,9% disebabkan oleh faktor antropogenik atau adanya campur tangan manusia. (huma/jaiz)